Harry-Potter-Freaks 4ever

All u need to know and again,please enjoy the word of harry potter

Senin, 23 Februari 2009

dukun ponari

BANYAK kejadian yang menunjukan akan datangnya hari kiamat
hari di akhir zaman.hal-hal yang turun secara tiba-tiba n di percayai sebagai alat yang dapat menyelamatkan hidup seseorang kelak orang tersebut termasuk orang yang sirik.

PEMILU 2009

Berdasarkan undang-undang (katanya), Pemilu 2009 yang akan diselenggarakan 9 April 2009 kelak, menggunakan tata cara yang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Dan perbedaan ini nampaknya cukup signfikan. Apakah itu?
Selama ini, vote alias memilih, sering juga disinonimkan dengan kata-kata “NYOBLOS”. Karena dalam prakteknya, vote yang dilakukan di Pemilu Indonesia adalah dengan menyoblos, entah itu nyoblos gambar partai, gambar calon, atau nyoblos nama caleg. Nah, kata-kata nyoblos ini demikian erat melekat di benak masyarakat kita, sehingga orang yang habis pulang dari tempat pemungutan sampah suara (TPS) akan menanyakan ke orang lain dengan pertanyaan “Sudah nyoblos belum?”, jarang yang bertanya “Sudah milih belum?”.
Nah, ternyata di undang-undang yang baru, kita tidak akan lagi melakukan COBLOSAN, akan tetapi yang kita lakukan adalah PILIHAN. Bukan nyoblos pakai paku, tapi nyentang pakai bolpen. Nah, yang bikin menarik, katanya kalau kartu suara dicoblos, suaranya bakalan dianggap tidak sah.
Dari sini saja sudah terlihat, potensi golput saja sudah sedemikian besar, ditambahi dengan kemungkinan terjadinya kesalahan “gaya” voting, dari yang seharusnya nyentang pake bolpen, malah keliru mencoblos. Sehingga kalau menurut saya, bakalan menyebabkan banyak sekali suara yang tidak sah. Tidak mudah memberi pendidikan kepada masyarakat kita yang sudah terbiasa puluhan tahun nyoblos, ganti nyentang, kecuali mungkin kepada pemilih pemula/muda.
Jadi, kalau anda masih bingung mencari mana partai yang bersih, mana partai yang memiliki kepedulian terhadap masyarakat, dan mana partai yang diisi orang-orang yang profesional, ikuti saja kata mbak Mega.
Jangan Golput kalau mau jadi warga negara yang baik.

KEKERASAN YANG DILAKUKAN PELAJAR


”Guru kencing Berdiri, murid Kencing Berlari”

Suatu idiom yang sering kita denger ketika ingin menyampaikan pesan bahwa apa yang dilakukan oleh seorang pendidik akan diikuti oleh murid melebihi apa yang mereka lakukan. Seorang pendidik menjadi panutan bagi mereka yang anak didiknya, apabila pendidiknya baik maka anak didiknya akan lebih baik lagi tetapi apabila pendidiknya jelek maka anak didiknya akan lebih jelek lagi.

Akhir-akhir kita selalu dikejutkan dengan tindakan-tindakan pelajar yang tidak dapat kita duga-duga, kekerasan demi kekerasan terjadi di dunia pelajar Indonesia, kasus yang terbaru adalah tindakan kekerasan yang dilakukan kakak kelas kepada adik kelasnya di SMA Negeri 9 Jakarta, dimana siswa kelas I dipaksa berkelahi dengan siswa kelas 3 hanya karena membuat jaket almamater berbeda tanpa izin.

Selain itu siswa-siswa kelas 1 juga diwajibkan mengikuti “penataran” yang dilakukan kakak-kakak kelasnya. Mereka disuruh buka baju, berlari dan bahkan ditampar. (detiknews.com senin, 01/12/2008 15:50 WIB)

sebelum tindakan kekerasan ini, sudah terlalu banyak, dari tawuran yang terjadi tanpa ada sebab yang jelas hingga adanya geng-geng pelajar yang sering melakukan tindakan kekerasan, seperti geng NERO.

Kenapa tindakan-tindakan kekerasan itu bisa terjadi dikalangan pelajar yang notebonenya adalah generasi bangsa yang akan mengambil alih tampuk kepemimpinan nantinya, apabila sekarang mereka sudah terbiasa dengan tindak kekerasan, kita tidak akan dapat membayangkan bagaimanan jadinya bangsa ini nantinya.

Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pelajar tidak mungkin terjadi secara tiba-tiba saja, pasti ada akar permasalahan, kenapa pelajar suka melakukan tindakan kekerasan, maka banyak indikasi yang di dapat, antara lain :

menurut penelitian yang dilakukan oleh Pediatrics Investigators Dimitri A. Christakis, MD, MPH dan Frederick Zimmerman, PhD, pada rumah sakit Seattle Children’s Hospital Research Institute dan University of Washington School of Medicine menyimpulkan bahwa perilaku agresi yang dilakukan anak usia remaja sangat berhubungan dengan kebiasaannya dalam menonton tayangan televisi.

Kalau berdasarkan research yang ada maka sudah sangat wajar kalau banyak pelajar melakukan tindak kekerasan karena ini berbanding dengan banyaknya tayangan televisi (film maupun sinetron) yang menayangkan tindakkan-tindakan kekerasan

Tidak optimalnya para pendidik memberikan pola pendidikan kepada para anak didiknya, dimana mereka masih dipusingkan dengan bagaimana mereka dapat menghidupin keluarganya dikarenakan minimnya upah yang mereka terima, sehingga menjadi pendidik merupakan profesi atau pekerjaan an sich bukan sebagai wujud pembinaan kepada generasi muda yang berasal dari panggilan jiwa.

Para pendidikan dimata anak didiknya bagaikan monster yang ditakutin, karena mereka tidak memberlakukan anak didiknya secara lebih manusiawi, dimana apabila mereka melakukan kesalahan sedikit saja (contoh tidak memakaiatribut sekolah yang lengkap sesuai aturan atau datang terlambat mereka pasti akan dihukum tetapi apabila itu terjadi dengan guru maka tidak ada hukuman yang diberikan oleh pihak sekolah)

Sehingga masa-masa pencarian jati diri dikalangan pelajar menjadi salah karena sekolah sebagai tempat mencari ilmu tidak ubahnya menjadi penjara yang menindas ekspresi mereka.

Kebijakkan pemerintah yang tidak memihak pelajar, yang tidak berdasarkan basic needed pelajar, seringkali kebijakkan yang dibuat hanya berdasarkan kebutuhan penguasa tanpa melihat dan melakukan survei apa kebutuhan pelajar.

Pelajar hanya sebagai objek pendidikan sehingga eksistensi mereka tidak diakui, seperti apa yang disampaikan oleh Poule Fiere bahwa pendidikan tidak membebaskan peserta didik dari belenggu tetapi pendidikkan malahan menjadi tirani bagi mereka

contoh pemaksaan itu seperti pelaksanaan UN yang membuat pelajar harus menyiapkan diri sebegitu kerasnya untuk belajar hingga mereka tidak memiliki waktu lagi untuk bermain, hampir 24 dalam sehari, 7 hari dalam seminggu pelajar harus belajar untuk dapat menghadapi UN

contoh lainnya adalah yang tidak begitu lama terjadi di DKI Jakarta, dengan alas an untuk mengurangi kemacetan yang sangat parah yang terjadi di Jakarta, Pemerintah Provinsi melalui Dinas Pendidikan membuat Peraturan Daerah untuk memajukan waktu masuk sekolah, suatu bentuk pemaksaan penguasa bagi pelajar.

Dari semua akar masalah yang ada, korban utamanya adalah tetap pelajar, mereka tetap menjadi pihak yang bersalah, semua orang menyalahkan pelajar, tanpa mau melihat akar masalahnya, itupun yang dilakukan oleh para pejabat dan juga para guru, tindak kekerasan yang dilakukan oleh Geng Nero, dipidana oleh Pengadilan dengan hokum percobaan mereka disamakan dengan para pelaku kriminal dan oleh pihak sekolah mereka diberhentikan.

Para pelaku tawuran, ditangka oleh aparat polisi seperti para pelaku kriminal lainnya, sebelum jelas apakah mereka bersalah atau tidak hukuman sudah ditetapkan dengan dijemur, diperintahkan untuk membuka baju sampai ada yang kepalanya di botaki dan pihak sekolah pun memberikan hukuman berupa surat pemecatan dari sekolah.

Sehingga tidak ada sedikitpun pihak yang mencoba membela pelajar atas apa yang mereka lakukan, dan ini menurut saya merupakan penyebab utama kenapa pelajar suka melakukan tindak kekerasan

Kalau seandainya para birokrat, para guru, pemilik media (televisi) dan orang tua memiliki kepedulian dan komitmen yang kuat untuk menanamkan sikap dan nilai yang anti kekerasan dan menghargai eksistensi dan ekspresi pelajar maka perilaku tindak kekerasan yang sekarang sering dilakukan oleh pelajar dengan sendirinya akan hilang.

Kalau itu dapat dilaksanakan maka kita akan memiliki generasi penerus bangsa yang anti kekerasan dan berperilaku cerdas dalam berpikir serta santun dalam berperilaku sehingga kehidupan yang lebih baik bagi bangsa ini bukan hanya mimpi belaka.

pendidikan gratis

why pendidikan gratis
Jika kita masih mempertanyakan mengapa biaya pendidikan harus gratis maka sebaiknya kita kembali ke tahun 1945 ketika kita memproklamirkan diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka yang bercita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Coba pikir, bagaimana mungkin kita akan dapat mencerdaskan bangsa ini jika untuk mendapatkan pendidikan dasar saja warganegaranya kesulitan karena pendidikan yang dikelola oleh pemerintah bukan hanya rendah kualitasnya tapi juga mahal harganya? Apa gunanya kita merdeka jika ternyata pendidikan dasar dengan kualitas burukpun harus kita peroleh dengan biaya mahal? Mana berkah kemerdekaan yang kita cita-citakan sejak setengah abad yang lalu tersebut? Apakah kita harus menunggu hingga satu abad baru cita-cita kemerdekaan tersebut bisa kita peroleh?Cobalah tengok negara-negara maju atau negara-negara tetangga. Tanpa gembar-gembor :”Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.” “Prioritas utama pemerintahan kita adalah peningkatan kualitas SDM!”, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, “Menuntut Ilmu adalah kewajiban sejak dalam buaian sampai liang kubur”, “Hanya dengan SDM yang berkualitas kita dapat membangun negeri ini,” dan berbagai jargon-jargon politik lain, mereka secara otomatis sejak semula sudah menggratiskan biaya pendidikan bagi warga negaranya. Di Sabah tetangga dekat kita saja sejak bayi lahir disana, entah Anda waraganegara atau bukan, sudah berhak untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan gratis. Apalagi di negara-negara maju macam Jerman, Inggris, Belanda, Australia, dll. Bahkan warganegara asingpun jika tinggal disana juga berhak mendapatkan pendidikan gratis. Bukan hanya pendidikan dasar tapi bahkan sampai perguruan tinggi. Nah! Apakah kita masih mau mengelak lagi dari kewajiban kita memberikan pendidikan dasar bagi warganegara kita sendiri?“Tidak adil jika pendidikan gratis. Pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat” (Kaltim Post, 12 Januari 2005)Jika pendidikan gratis itu tidak adil maka itu berarti kita mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara lain yang menggratiskan pendidikannya adalah TIDAK ADIL dan justru kita yang ADIL selama ini. Berarti konsep pendidikan gratis yang dianut oleh negara-negara lain selama ini adalah prinsip yang bertentangan dengan prinsip keadilan yang kita anut. Negara-negara tersebut telah melakukan KETIDAKADILAN terhadap warganegaranya. Kitalah justru pelopor keadilan karena kita tidak menggratiskan pendidikan dasar bagi warga kita. Sayang sekali bahwa pendapat itu tidak benar.Dimanapun didunia ini pendidikan adalah tanggungjawab pemerintah dan masyarakat, termasuk biaya pendidikannya ditanggung bersama. Diluar biaya yang ditanggung pemerintah dengan menggratiskannya orang tua masih harus menanggung biaya pendidikan seperti : buku dan alat tulis sekolah, pakaian dan perlengkapan sekolah, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, karyawisata, uang saku, kursus, dan iuran sekolah macam-macam. Jadi meski gratispun masyarakat (dalam hal ini orang tua) masih tetap harus mengemban tanggung jawabnya dalam pendidikan anaknya. Jadi ini tidak berarti kalau sekolah gratis lantas masyarakat lepas tanggung jawab terhadap pendidikan anaknya.“Tapi bukankah struktur ekonomi penduduk kita berbentuk piramida terbalik dimana penduduk miskinnya hanya 5 % sedangkan sisanya termasuk mampu membayar biaya pendidikan? Nggak fair dong jika punya mobil Mercy tapi minta biaya pendidikannya disubsidi! “ (Kaltim Post, 11 Januari 2005)Jika itu alasan yang dipakai maka jelas kita akan semakin jauh dari tujuan kemerdekaan kita semula. Pemerintah telah berubah menjadi perusahaan swasta dimana semua jasanya tidak lagi berorientasi kepada pelayanan tapi kepada pembayaran. Lantas apa gunanya pemerintahan yang dibiayai dari pajak dan kekayaan negara jika ternyata rakyat masih juga harus membayar untuk pendidikan dasarnya? Hak untuk memperoleh pendidikan bermutu tidak sama dengan BBM dimana semua orang harus membeli dan yang miskin masih harus disubsidi oleh pemerintah. Pendidikan adalah hak dasar yang dimiliki setiap rakyat yang mesti dipenuhi oleh pemerintahnya.Apa artinya ‘piramida terbalik’ tersebut jika masyarakat di Kariangau, Tritip, dan Manggar masih harus membayar untuk pendidikan dasar dengan kualitas memprihatinkan? Bahkan di negara-negara maju dimana penduduknya sudah 100% kaya sekolah juga gratis. Kaya mana sih Balikpapan dengan Sabah dan Sarawak? Toh mereka menggratiskan pendidikan mereka bagi warganegara mereka. Di negara manapun yang namanya ‘public school’ atau sekolah negeri selamanya gratis. Meskipun ada anak konglomerat yang memiliki harta bertrilyun-trilyun bersekolah di sekolah publik maka ia berhak untuk memperoleh pendidikan gratis dan tak seorangpun akan berkata, “Wah! Nggak fair dong! Orang kaya kok disubsidi!” Itu pernyataan yang ‘aneh’ karena memang setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan gratis, siapapun itu tanpa diskriminasi. Ini adalah masalah hak dan bukan privilege. Bahkan di Sabah dan Sarawak, tetangga terdekat kita, sekolah swastapun gratis, bukan hanya sekolah pemerintah, karena disubsidi oleh pemerintah. Jadi tidak ada lagi anak usia sekolah yang tidak bersekolah karena faktor biaya karena orang tua bisa dihukum jika tidak menyeklahkan anaknya. Itulah konsep dasar dari Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar dikdas) yang kita masukkan dalam UU Sisdiknas.Bukankah pejabat-pejabat pemerintahan kita selama ini berbondong-bondong ‘studi banding’ ke Sabah dan Sarawak ketika penerbangan MAS masih buka? Lantas apa hasil ‘studi banding’ tersebut jika ternyata kita tidak belajar hal-hal yang bermanfaat semacam ini bagi rakyat?“Tapi kan ada subsidi untuk pendidikan dan kesehatan melalui berbagai skema macam program KELUARGA MISKIN,untuk memperoleh beasiswa pendidikan dan kesehatan sehingga mereka yang tidak mampu akan tetap memperoleh pendidikan dan kesehatan gratis” (Program GAKIN adalah program kota Balikpapan bagi keluarga miskin untuk memperoleh subsidi pendidikan dan kesehatan)Terus terang, program subsidi sekolah bagi keluarga miskin itu sangat mengusik hati kecil kita. Lha wong untuk memperoleh pendidikan dasar dan kesehatan yang memang sudah semestinya menjadi haknya kok ya warganegara mesti ditempeli ‘cap’ KELUARGA MISKIN toh! Tidakkah itu suatu bentuk diskriminasi yang justru tidak berkeadilan dan harus kita hilangkan karena bertentangan dengan undang-undang Sisdiknas. Tidakkah istilah ‘warga miskin’ itu mengusik harga diri warganegara kita sendiri? Pernahkah kita meneliti apa dampak negatif dari ‘stempel’ warga miskin pada siswa-siswa kita. Mereka menjadi anak-anak yang terstigmatisasi dan memiliki self esteem yang rendah. Tak usah tanya mengenai prestasi akademis kalau sudah begitu. Citra diri yang rendah akan membuat orang kurang bertanggungjawab dan tidak mampu berprestasi dalam bentuk apapun. Prinsip “You can if you think you can.” Dan juga sebaliknya :”You cannot when you think you cannot.” Benar-benar berlaku disini. Karena sudah distempel termasuk golongan “CANNOT” maka mereka jelas tidak akan bisa melakukan prestasi apapun. Kita sudah meracuni pikiran mereka dengan stempel ‘WARGA MISKIN” tersebut!Saya pernah tersentak mendengar cerita dari seorang teman saya yang keluarganya termasuk miskin tapi karena suatu kesalahan pencatatan dianggap keluarga mampu dan dimintai sumbangan perbaikan kampung setara dengan keluarga mampu. Teman saya tentu saja marah dan hendak protes kepada pejabat kampung. Tapi oleh bapaknya dicegah mati-matian karena ia ingin dan senang dianggap setara dengan keluarga-keluarga lain yang mampu, meskipun untuk itu ia harus mencari pinjaman kesana kemari untuk menutupinya. Ini menunjukkan bahwa harga diri dinilai lebih tinggi ketimbang kemudahan yang diperoleh dengan mengorbankan harga diri. Tak ada orang yang ingin disebut warga miskin jika bukan karena begitu terdesaknya mereka secara ekonomi.Disamping masalah harga diri banyak warga miskin yang tidak melapor dan meminta kartu GAKIN karena tidak mau repot-repot mengurus sehingga mereka kehilangan hak mereka untuk mendapatkan subsidi pendidikan dasar. Statistik yang menyatakan warga miskin Balikpapan hanya 5 % sungguh perlu dipertanyakan kalau standarnya adalah kartu GAKIN tersebut.“Sekolah gratis akan menghambat mutu pendidikan. Kalau begini kan tidak adil. Lagipula saya yakin, mereka yang kaya itu akan malu jika sekolah gratis.” (Kaltim Post, Sabtu 15 Januari 2005)Ini adalah argumen yang menggelikan. Jika sekolah gratis itu akan menghambat mutu pendidikan maka semua negara maju tentunya tidak akan menerapkan kebijakan tersebut. Faktanya adalah : Semua negara maju, bahkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunai kualitas pendidikannya jauh di atas kualitas pendidikan di negara kita padahal sekolahnya gratis, bahkan sampai perguruan tingginya. Indonesia, atau lebih spesifik Balikpapan, biaya pendidikannya tidak gratis dan bahkan mahal justru kualitas pendidikannya sangat terpuruk dibandingkan negara-negara tetangga sekalipun.Pendidikan memang tidak murah. apalagi pendidikan yang berkualitas. Dibutuhkan biaya yang besar untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang tinggi. Tapi biaya yang besar itu harus dibebankan pada pemerintah, dan bukan pada orang tua atau masyarakat, karena begitulah amanat undang-undang. Bukankah kita memberikan amanat kepada pemerintah untuk mengelola semua kekayaan negara? Bukankah kita telah membayar berbagai macam pajak, retribusi dan pungutan kepada permerintah agar dapat dikelolalnya untuk memenuhi amanat undang-undang tersebut melalui APBN dan APBD?Samasekali tidak ada alasan untuk malu di sekolah gratis. Kita justru malu jika sekolahnya berkualitas buruk. Kalau tidak percaya tanyai semua anak-anak orang kaya apakah mereka malu atau tidak jika biaya sekolah mereka dibebaskan. Saya yakin jawabannya pasti :” Tidak!”.“Pemerintah tidak mampu memberikan pendidikan gratis karena besarnya dana yang harus disediakan dan lagipula banyak hal lain yang juga memerlukan pendanaan secara mendesak juga.” (Kaltim Post, Selasa, 11 Januari 2005)Setiap kali mendengar argumen ini saya tidak tahan untuk tidak menangis dalam hati. Ini artinya kita masih belum beranjak dari sikap tidak bertanggungjawab terhadap peran dan tugas kita kepada masyarakat. Jelas-jelas itu merupakan amanah yang harus kita emban kok ya kita dengan entengnya mengelak dari tugas dan kewajiban kita. Siapapun tahu bahwa itu pekerjaan yang maha berat, terutama bagi kota dan kabupaten yang miskin, tapi itu tidak berarti kita bisa mengelak dari tanggungjawab kita. Kita harus bekerja keras untuk mencapai itu sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, tapi tetap dengan tekad untuk memenuhi amanat tersebut. Dan itu yang tidak kita lihat selama ini. “Karena sekarang tidak bisa kita capai ya sudah! Kita tidak usah repot-repot untuk mencapainya lha wong itu pekerjaan maha berat yang hanya Superman yang bisa kerjakan.” Itu sikap yang muncul pada kita. Barangkali ini ‘karma’ dari stempel GAKIN yang kita capkan pada warga kita sehingga kita ketularan menjadi golongan “CANNOT” dan tidak berusaha untuk “CAN”.Kalau mau, akan ada banyak jalan untuk mencapai apapun yang kita inginkan. “Dimana ada kemauan, disitu ada jalan”, begitu kata anak saya yang baru belajar tentang pribahasa. Kalau tidak bisa sekaligus, ya lakukan secara bertahaplah. Yang penting ada usaha untuk menuju kesana dan tidak menutup pintu. Jika mau, bukankah kita bisa belajar pada mereka yang telah sukses memberikan pendidikan gratis pada warganya? Tak perlu jauh-jauh, Sabah dan Sarawak masih satu pulau dengan kita. Tapi kalau Sabah dan Sarawak terlalu tinggi mungkin kita cukup belajar ke Singaraja di Bali, Cilacap di Jawa Tengah, Bontang dan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur atau Sinjai di Sulsel. Disana mereka sudah menggratiskan biaya pendidikan bagi warganya. Padahal APBD mereka jauh lebih kecil daripada kita. Kita bisa belajar dari mereka bagaimana caranya mereka dapat menggratiskan pendidikan dengan APBD yang jauh lebih kecil daripada kita.Nah! Alasan apalagi yang akan kita ajukan?
PERANGKAP PENDIDIKAN GRATIS
Ada pameo no such a thing as a free lunch, tidak ada makan siang gratis. Pameo tersebut penting untuk direnungkan kembali, terutama terkait dengan pendidikan gratis yang cenderung menjadi komoditas politik.
Dalam kampanye pilkada beberapa kandidat secara “gagah berani” menjanjikan pendidikan gratis jika terpilih. Beberapa kepala daerah yang sudah menjabat bahkan tidak ragu mengeluarkan kebijakan sekolah gratis.
Sebenarnya hal itu (tentu saja) tidak dilarang, karena sesungguhnya kebijakan merupakan masalah pilihan. Setiap kebijakan mengandung konsekuensi tertentu. Masalahnya, apakah semua pihak menyadari apa konsekuensi kebijakan tersebut.
Yang dimaksud dengan “pendidikan gratis” di sini adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah. Dalam pengertian seperti itu, konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid.
Besarnya biaya satuan kemudian harus dibandingkan dengan dana BOS (bantuan operasional sekolah) yang sejak 2005 diterima sekolah dari pemerintah (pusat). Untuk 2007, dana BOS bernilai Rp 21.000 per siswa per bulan untuk SD/MI dan Rp 29.500 untuk SMP/MTs.
Pertanyaan pertama, apakah sebelum mencanangkan atau menjanjikan pendidikan gratis para (calon) pimpinan daerah sudah menghitung biaya satuan? Pertanyaan kedua, jika ternyata biaya satuan di tingkat sekolah lebih besar dibandingkan dengan dana BOS, siapa yang akan menutup kekurangan tersebut?
Kebijakan pendidikan gratis jelas tidak membebankan kekurangan biaya tersebut kepada masyarakat (orang tua). Alternatifnya hanya dua, yaitu dipenuhi oleh pemerintah (pemda) atau dibiarkan tanpa satu pihak pun yang menutupnya. Jika pemda yang akan menutup kekurangan biaya di sekolah berarti diperlukan alokasi APBD sesuai dengan jumlah murid. Sebagai gambaran, selisih antara biaya satuan dan BOS adalah Rp 15.000 dan di suatu kabupaten terdapat 200.000 murid SD maka diperlukan tambahan APBD senilai Rp 3 miliar untuk tingkat SD saja. Semakin besar selisih antara BOS dengan biaya satuan dan semakin besar jumlah murid di suatu daerah semakin besar alokasi APBD yang diperlukan.
Jika pemda tidak mau (atau tidak mampu) mengalokasikan anggaran yang diperlukan dan tetap konsisten dengan kebijakan pendidikan gratis, itu artinya sekolah dibiarkan untuk beroperasi dengan dana yang lebih rendah dari kebutuhannya. Berarti pula sekolah tidak akan mampu memberikan pelayanan kepada siswa sesuai standar.
Fakta Lapangan
Dalam buku Panduan BOS Tahun 2007 dinyatakan bahwa pemda tetap harus mengalokasikan APBD-nya untuk keperluan operasional sekolah. Selain itu, BOS masih memperbolehkan sekolah untuk menerima sumbangan dari orangtua yang mampu. Yang dengan tegas harus “gratis” adalah bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Secara implisit, hal itu menunjukkan bahwa pengelola BOS menyadari dana BOS sebenarnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional di sekolah. Meskipun demikian, tidak semua orang menyadari hal itu.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa berbagai “model” kebijakan pembiayaan pendidikan di daerah. Pertama, pemda menganggap BOS tidak cukup, sehingga mengalokasikan dana APBD dalam jumlah cukup besar sebagai “pendamping BOS”, kemudian menggratiskan pendidikan.
Sebagai ilustrasi, sampai 2007 DKI Jakarta mengalokasikan Rp 50.000 per siswa per bulan untuk SD dan Rp 100.000 untuk SMP. Contoh lain, Kota Bekasi juga mengalokasikan APBD 2008 cukup besar untuk pendamping BOS, sekitar Rp 30.000 per siswa per bulan untuk SD.
Ini merupakan kondisi yang mendekati “ideal”. Sekolah tercukupi kebutuhannya, sementara masyarakat menikmati pelayanan pendidikan tanpa harus membayar.
Kedua, pemda menganggap dana BOS sudah cukup bagi sekolah, sehingga menggratiskan sekolah, tetapi tidak mengalokasikan (atau mengalokasikan dalam jumlah kecil) APBD-nya untuk keperluan operasional sekolah. Ini merupakan kondisi yang sangat menyulitkan banyak sekolah dan dikhawatirkan berimplikasi buruk bagi kualitas pendidikan. Di sisi lain, masyarakat “menikmati” sekolah gratis, meskipun ada “ancaman” penurunan kualitas (yang belum tentu dirasakan dengan segera).
Ketiga, pemda menganggap BOS tidak cukup, tidak mengalokasikan (atau mengalokasikan dalam jumlah kecil) APBD-nya, tetapi masih memperbolehkan sekolah menarik dana partisipasi dari masyarakat.
Langkah ini tidak “populer”, karena masyarakat masih dibebani dengan biaya pendidikan. Tetapi, sekolah tidak “menderita”, karena kekurangan dana operasional masih bisa ditutup dengan kontribusi dari orang tua/masyarakat.
Situasi di atas menunjukkan bahwa pendidikan gratis tidak selalu “baik” bagi masyarakat. Masyarakat memang memerlukan pendidikan yang murah, tetapi pada saat yang sama juga memerlukan pendidikan yang bermutu. Dan sayangnya, kedual hal itu (murah dan bermutu) tidak selalu bisa berjalan seiring.
Dalam kasus tertentu, di mana pemda tidak mengalokasikan APBD dalam jumlah yang cukup untuk keperluan operasional sekolah, kebijakan pendidikan gratis justru menjadi perangkap. Kualitas pendidikan, yang sudah sering diragukan, akan semakin terpuruk akibat tidak terpenuhinya kebutuhan operasional sekolah.
Oleh karena itu, masyarakat harus cukup cerdas untuk mencermati wacana pendidikan gratis, khususnya yang dijanjikan oleh para kandidat dalam pilkada. Caranya, antara lain, dengan menuntut penjelasan yang lebih rinci tentang bagaimana kebijakan tersebut hendak diimplementasikan.
Hal lain yang perlu dilihat secara kritis adalah wacana pendidikan gratis yang dilontarkan oleh para calon gubernur. Mengapa demikian? Karena pengelolaan pendidikan (selain pendidikan tinggi) merupakan kewenangan wajib kabupaten/kota. Kabupaten/kota yang pada akhirnya bertanggung jawab untuk menggratiskan (atau tidak menggratiskan) pendidikan.
Kalau seorang (calon) gubernur menyatakan bahwa di provinsinya pendidikan akan digratiskan, itu sama saja dengan melemparkan “bola panas” ke tangan para bupati/walikota. Jika akhirnya masyarakat menuntut realisasi pendidikan gratis, yang harus bertanggung jawab adalah kabupaten/kota, bukan provinsi!

Minggu, 22 Februari 2009

HARRY POTTER AND THE HALF-BLOOD PRINCE

J.K. Rowling has kept her promise --- that each of Harry Potter's years at Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry will be darker and more difficult than the one before. This sixth installment is the darkest and most complex of the books yet. But just in case you have any doubt, Harry is proving well up to the tasks at hand --- and his magical world seems more vivid and real than ever.

Harry's sixth year at Hogwarts is off to a rocky if exciting start. The Wizarding world is at war after the violent showdown at the end of Book Five that saw the death, injury or arrest of several key characters --- and the clear return of evil Lord Voldemort/ He-Who-Must-Not-Be-Named. Mysterious murders and magically triggered disasters continue, and there has been a mass breakout from Azkaban, the wizard community's prison. Even Muggles are starting to notice, including the Prime Minister. Families of students heading back to school on the Hogwarts Express are on high alert, but reassured that new security measures are in place along with a tough new Minister of Magic, Rufus Scrimgeour.

Meanwhile, Harry has received an unusual summer visit from Hogwarts headmaster Professor Dumbledore during which the trusted mentor explains just how different Harry's upcoming school year will be. Among other things, it will include private study sessions with Dumbledore where the elder wizard will shed more light on the prophecy about Harry laid out in Book Five and help Harry discover --- through memories viewed via Dumbledore's magical Pensieve ---Lord Voldemort's heritage and just what makes him tick, including the dark magic that has rendered him seemingly immortal.

Now 16, Harry and his pals Ron and Hermione have received their O.W.L. exam results and must buckle down in their studies to focus on the more specialized N.E.W.T. level. As in years past, there is a new Defense Against the Dark Arts teacher; this time a most surprising candidate fills the post. All this means piles of homework and ever-more-challenging classroom projects. It's a good thing that Harry has discovered a used potions textbook filled with helpful --- and sometimes dangerous --- spells and hints scribbled in the margins. The book says it was once property of the Half-Blood Prince, a mystery that Harry and company are determined to solve. And sneering bully Draco Malfoy continues to be an annoyance and more as he sorts out where his own loyalties lie and tries to master more complicated magic.

The little free time Harry has is spent captaining the Gryffindor Quidditch team, and readers who love the high-flying action of the game won't be disappointed. Social lives are not completely put on hold either, as Harry, Ron, Hermione and Ginny Weasley are among those contemplating their fluttery romantic feelings (sometimes for each other). And Fred and George Weasley's joke shop is doing booming business, which accounts for some of the good bits of humor throughout.

As spring arrives and the end of the school year nears, Harry accompanies Dumbledore on a secret and perilous mission that at its heart contains a key to Voldemort's undoing. The two brave wizards could not know, however, that their actions would help trigger a high stakes battle back at Hogwarts pitting Death Eaters (Voldemort's henchmen) and yes, vicious traitors to Hogwarts, against the good guys. When the blood and the Dark Mark in the sky are cleared, not everyone survives.

When it comes to the clever weaving of plot threads all the way back to the sorcerer's stone and Chamber of Secrets, Rowling is at the top of her game. She keeps a broad roster of familiar faces in the fore and reminds us of past characters and events and how they play perfectly into her ultimate plan for Harry. She also writes in a slightly more sophisticated style than the earlier books, with a richer emotional tone that matches Harry's developing maturity.

Away from all the action of his latest story, Harry is indeed growing into a young man. He is still grieving over losses experienced during his fifth year but knows he must move on. He's learning to be more comfortable in his own skin, even if it means accepting being “The Chosen One” singled out by Voldemort and a subject of constant scrutiny and curiosity to classmates, teachers and the public at large. It's the kind of stuff that makes a guy really appreciate who his true friends are, and Harry has some gems in Ron and Hermione.

By the end of HARRY POTTER AND THE HALF-BLOOD PRINCE, Harry emerges as a calmer, more psychologically deep teenager who seems to have lived lifetimes far beyond his 16 years. He is now fully confident about his life's calling --- to defeat Voldemort at any cost --- and has developed a steely resolve, bolstered by great emotional pain, to carry it out. Whatever the wait for a final battle-to-the-death in Book Seven, it will be too long.

--- Reviewed by Shannon Maughan


And don't miss Jim Dale's stellar performance of Book Six on the audiobook from Listening Library. It's a blast to hear his character voices, and the dramatic flair --- and care --- he uses in unfolding Harry's story.

HARRY POTTER AND THE ORDER OF THE PHOENIX

I say to you all, once again--in the light of Lord Voldemort’s return, we are only as strong as we are united, as weak as we are divided. Lord Voldemort’s gift for spreading discord and enmity is very great. We can fight it only by showing an equally strong bond of friendship and trust.

So spoke Albus Dumbledore at the end of Harry Potter’s fourth year at Hogwarts. But as Harry enters his fifth year at wizard school, it seems those bonds have never been more sorely tested. Lord Voldemort’s rise has opened a rift in the wizarding world between those who believe the truth about his return, and those who prefer to believe it’s all madness and lies--just more trouble from Harry Potter.

Add to this a host of other worries for Harry…
A Defense Against the Dark Arts teacher with a personality like poisoned honey
A venomous, disgruntled house-elf
Ron as keeper of the Gryffindor Quidditch team
And of course, what every student dreads: end-of-term Ordinary Wizarding Level exams

…and you’d know what Harry faces during the day. But at night it’s even worse, because then he dreams of a single door in a silent corridor. And this door is somehow more terrifying than every other nightmare combined.

In the richest installment yet of J. K. Rowling’s seven-part story, Harry Potter confronts the unreliability of the very government of the magical world, and the impotence of the authorities at Hogwarts.

Despite this (or perhaps because of it) Harry finds depth and strength in his friends, beyond what even he knew; boundless loyalty and unbearable sacrifice.

Though thick runs the plot (as well as the spine), readers will race through these pages, and leave Hogwarts, like Harry, wishing only for the next train back.

© Copyright 2003 Scholastic - All Rights Reserved.

Back to top.

REVIEW

Deeper secrets

Harry Potter is frustrated. Isolated from the wizarding world at his summer residence with his non-magical aunt, uncle and cousin, he hides in flowerbeds so he can listen to the evening news and steals newspapers from trash bins, hoping for some sign of activity from Lord Voldemort. He barely has had contact with his best friends, Ron Weasley and Hermione Granger.

A dementor attack, a cryptic Howler, and a rescue brigade bring Harry back to the magical world, to a place where a group of wizards has assembled with the mission to stop Voldemort. To Harry's disgust, no one wants to tell him anything regarding the mission, not even when he begins to dream of a snake and a door at the end of a long, dark hallway that he recognizes as part of the Ministry of Magic. Things aren't much better at Hogwarts, where his dreams turn into visions of Voldemort's power, anger, and desire for domination.

Darker powers

It is a time of war in the magical world, but there are no clear lines of good and evil. The Ministry of Magic is so adamant in its beliefs that it refuses to acknowledge Harry's story of Voldemort's return. Harry is the butt of jokes in the Daily Prophet, and the only people who believe him are the ones the Ministry would discredit. According to the Ministry, Albus Dumbledore is a dangerous fool, and anyone who follows him is not to be trusted. Co-workers, friends, and even families begin to divide according to whom they support. Spies and secrets feed a new era in wizarding history and lead to changes at Hogwarts, not all of them good. The students are as divided as the adults, and discord haunts the corridors.

Stronger magic

Fifth year is the time for Ordinary Wizarding Level exams, or O.W.L.s, and Harry and the rest of the fifth-years find themselves working harder than ever to achieve top test results, which then dictate their careers. Spells are more complex, there's more homework, and the students have to work twice as hard as they did in previous years just to keep up. The only class that differs from this pattern is Defense Against the Dark Arts, taught by the deceptively sweet Dolores Umbridge, formerly Senior Undersecretary to Cornelius Fudge, the Minister of Magic. Umbridge's lesson plans leave Harry and his friends worried and wanting more from their education.

Harry is also asked by Professor Dumbledore to study privately with Professor Snape, the hook-nosed, greasy-haired Potions professor who has done nothing but make Harry's Potions classes miserable since the day Harry first came to Hogwarts. In order to succeed and even survive, Harry must put his trust in those who hide the truth from him.

Intricate plots, maturing characters, and fast-paced action paint a picture of a magical world with a new veil of darkness. As Harry and his friends grow, they must face more adult issues and deal not only with a changing world, but also with their changing selves. Characters who have only served in the background of previous books become more important, and some of Harry's favorite people, like Remus Lupin, return. Never content to sit back and watch things happen, Harry and his friends take dangerous matters into their own hands, confronting evil and working as a team to stop it.

From page one, where we see more complex sentences and an angrier, damaged Harry, this book's tone is completely different from the previous four: deeper and richer, with less humor and more detail. Rowling's tactics of inspiring fear are different in this installation, too. The horror is psychological rather than physical, and there is less Quidditch and more magic. Harry is achingly perfect and emotionally real as a typical teenage boy, confused and defiant about everything from girls to his friendships to his magical education. He has come to trust very few people, but those he takes into his confidence, like Ron and Hermione, complement him very well.

Patience is recommended while reading, because the pacing lags in some places while rushing in others, and the multiple plot lines take a while to mesh. Rather than take us through a mostly linear tale with a twist at the end, as seen in THE CHAMBER OF SECRETS and THE GOBLET OF FIRE, the plotline here is built of many small incidents that come together to form the whole of the story. This new approach shows a shift in the atmosphere and targeted audience of the Harry Potter series. As Harry matures, so does Rowling's writing style, coloring the events of the past and linking them to the present. HARRY POTTER AND THE ORDER OF THE PHOENIX gives many answers and raises even more questions, setting up an excellent path for the final two books in the series.

HARRY POTTER AND THE GOBLET OF FIRE


It's the pivotal fourth novel in the seven-part tale of Harry Potter's training as a wizard and his coming of age. Harry wants to get away from the pernicious Dursleys and go to the International Quidditch Cup with Hermione, Ron, and the Weasleys. He wants to dream about Cho Chang, his crush (and maybe do more than dream). He wants to find out about the mysterious event that's supposed to take place at Hogwarts this year, an event involving two other rival schools of magic, and a competition that hasn't happened for a hundred years. He wants to be a normal, fourteen-year-old wizard. Unfortunately for Harry Potter, he's not normal — even by wizarding standards.

And in his case, different can be deadly.
REVIEW

He's baaaaaack! Harry Potter, boy wizard, returns in this much-anticipated fourth book about the amazing goings-on at Hogwarts School of Witchcraft and Wizardry.

With two weeks of summer to go before school starts, Harry is thrilled to learn that he'll be leaving his wretched relatives, the Dursleys, and going to stay with his best friend, Ron Weasley, and Ron's family. But even more special than his visit is the chance to attend the Quidditch World Cup championship game. Harry, Ron, their friend Hermione, and most of the Weasley clan head off to a magical stadium for the big game. During all the festivities, the Dark Mark of Voldemort is raised in the sky, frightening the thousands of wizards and witches at the event. Could Voldemort be regaining his strength?

Harry doesn't have too much time to worry about this scary idea as his fourth year at Hogwarts is about to begin. He may not be all that eager to start his school work, but he's super excited about the new Quidditch season. And he also wants to know who the new Defense Against the Dark Arts teacher will be.

Once at Hogwarts, though, Harry --- and everyone else --- gets a big surprise. They learn that Quidditch is canceled for the year so that the school can concentrate on a different competition, the Triwizard Tournament. It's a contest between the three largest European schools of wizardry: Hogwarts, Beauxbatons, and Durmstrang. One champion is chosen to represent each school in a series of dangerous tasks. As students from the other two schools arrive to spend the year at Hogwarts, everyone wonders which students will compete, their names finally selected by the ancient Goblet of Fire.

The Tournament is exciting, but it's only part of the year's activities. A regular class load, including instruction from Mad-Eye Moody, the new Defense Against the Dark Arts teacher with a magical eye and wooden leg, keeps Harry and his friends busy. Of course, there's time for fun, including weekend trips to the wizarding village of Hogsmeade. And at 14, Harry and his fellow fourth-years are ready for their first school dance (who will Harry ask?).

As the Triwizard Tournament and the school year unfold, nearly all the witchcraft and wizardry students face new challenges. But this year Harry faces the most danger of all. He now must trust that his growing wizard skills and the support of Professor Dumbledore, and his godfather, Sirius Black, will be enough to see Harry safely through this fourth year.

Yes, this is a very long book. But you'll want to step right into the enchanting world of Hogwarts and ride along as Harry unravels more of the magical mysteries in his fascinating life.